Jalanan berdebu. Panas terik cukup untuk membuat peluh bercucuran. Kombinasi antara debu yang berterbangan hinggap di wajah, leher, da...

Bukan Anyer - Panarukan



Jalanan berdebu. Panas terik cukup untuk membuat peluh bercucuran. Kombinasi antara debu yang berterbangan hinggap di wajah, leher, dan tangan yang berkeringat akan menghasilkan semacam kotoran menempel yang biasa disebut daki. Tapi dia tapi peduli itu. Tuntutan untuk bertahan hidup jadi penggusur yang lebih kuat daripada gengsi hanya untuk menghindari daki. Berteman debu dipayungi terik matahari, dua kawan baru itu nampak akrab, atau mungkin baru – baru ini berusaha dia untuk mengakrabi seperti kawan yang lainnya. 

Sesekali melihat kanan dan kiri ketika hendak berpindah dari bahu jalan, dari kanan ke kiri. Tangannya bergetar ketika jari – jarinya yang tak lagi segar mengangkatkan serokan plastik berisi pasir, ya pasir, sesekali juga berisi koral. Wajahnya. Ah, sorot  mata di wajahnya begitu teduh, mengalahkan terik matahari yang menaungi. Begitu tenang, wajahnya begitu tenang, ditengah deru kendaraan, alat berat yang menghantam bebatuan juga suara kawan pekerjaan yang seperti setengah teriakan. Sesekali nampak senyuman diwajahnya yang tak lagi muda, selingan ketika percakapan dengan kawan seperjuangan. 

Ah, aku tidak sampai dengan apa yang ada dipikirannya. Di usia yang pasti bukan hanya menurutku saja bahwa dia sudah berusia senja, tetapi dia masih bekerja. Sepertinya semua akan lain cerita jika di usia senja bekerja dengan semestinya, bukan bekerja diantara bebatuan dan alat berat serta kepanasan. Yah tetapi yang pasti di usia senja sudah saatnya saja untuk bermain bersama banyak cucu di beranda, mengisahkan perjuangan masa kemerdekaan, atau bercerita tentang dongeng si kabayan. 


Aku hanya menduga – duga dengan yang ada dipikirannya. Banyak orang berkata bahwa kini adalah masa – masa sulit. Banyak yang mengeluhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari pun bukan main susahnya, memang tidak bisa dinampikkan. Tapi menurutku ada hal lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidup memang susah, susah bagi yang susah, tapi mudah bagi yang mudah. Itulah kenyataan.

Kebutuhan, mungkin itu yang mennggusur bapak usia senja itu tergerak bergabung dengan korps perbaikan jalan. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga meski dalam pekerjaan yang dilakoninya dia hanya pulang mungkin ketika hari minggu yang ke 2 kalinya tiba. Bagaimanapun juga memenuhi kebutuhan keluarga dengan jalan halal adalah hal yang mulia. Namun ada hal lain yang menjadi tanda tanya, bagaimana dengan keluarganya, anak atau cucunya? Tidakkah mereka cukup bisa untuk merawat orang tua sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari – harinya? Terlalu jauh, pikiranku terlalu jauh. Dan saya yakin pekerjaan yang dilakoninya bukanlah sebuah kerja paksa, karena hal itu bukanlah anyer – panarukan, ketika yang tua lagi yang muda dibedol dari desa meninggalkan sawah ladangnya untuk memenuhi panggilan tuan baru di tanah pribumi, pekerjaan pembuatan jalan ketika jaman penjajahan. 

Hanya beberapa pelajaran, bahwa bapak berusia senja itu bekerja  untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan itu hal yang mulia. Meskipun pasti dengan secara sadar bahwa dia tak lagi muda untuk melakukan pekerjaan yang kini dilakukannya, tetapi dia tetap berusaha. Meskipun secara sadar bahwa dia tak lagi muda untuk bergerak se-cekatan seperti kawan – kawan sepekerjaan yang lainnya, tapi dia tetap berusaha. 

Semangat muda, semangat muda yang masih tertanam di dirinya, meski usia biologisnya tak lagi muda. Tanggung jawab, dia memiliki tanggung jawab, untuk memenuhi kebutuhan kelurga kalau memang dia punya, tapi setidaknya kalau pun dia tak lagi berkeluarga,  dia punya tanggung jawab untuk memnuhi kebutuhan dirinya. 

Mungkin keluarganya menunggu di rumah, berharap sang suami dari seorang istri yang setia, ayah dari anak – anak yang soleh serta solehah, untuk pulang membawakan nafkah. Mungkin lagi mereka ketika menunggunya berharap – harap cemas seperti mereka menunggu pengumuman kelulusan masuk perguruan tinggi negeri. Aih, tidak ada maksud saya menghina, tapi mereka sepertinya tidak pernah merasakan ketegangan hal itu, kalau pun demikian ceritanya akan berbeda. Tapi seorang istri itu pasti tidak saja duduk manis nan manja dalam penantiannya. Anak – anaknya pula tak cerewet kepada ibunya ketika sang ayah lagi tiada, ada upaya yang masing – masing diupayakannnya. 

Mungkin hal ini berbeda dengan Trunodongso sang petani, seorang kakek penjual amplop di Bandung Raya, ataupun Saidjah yang dari Banten pergi ke tanah Betawi, atapun seorang kakek yang lewat depan runah dengan membawa kursi dan meja kayu yang hendak dijualnya. Tapi masing – masing dari mereka terus berusaha, berupaya dengan apa yang mereka bisa lakukan, dengan apa yang mereka bisa upayakan. 

Hingga akhirnya di manapun mereka berada, akan kembali pada keluarga yang utuh penuh dengan kasih sayang, ketentaraman dan kenyaman dalam melaksanakan misi – misi dari Sang Pencipta, sederhana dan bersahaja. Karena kurasa saat ini bukan masa Anyer Panarukan, masa penjajahan, bukan pula jaman Gubenur Jenderal yang haus kuasa, bukan juga jaman ketidakadilan Tuan Besar Kuasa Administratur di tanah perkebunan.

Dia, bapak berusia senja yang hanya berusaha dan berupaya melalui pekerjaan borongan perbaikan jalan, dan bukan kerja paksa jaman penjajahan.

0 comments:

Terima kasih atas komentarnya