Minat baca, menjadi salah satu permasalahan dalam mengembangkan kemajuan intelektual dalam dunia pendidikan. Dalam sebuah diskusi, minat baca masyarakat Indonesia disebutkan berada dalam rangking yang mengkhawatirkan. Muncul satu pertanyaan, minat baca apa yang dimaksud? Apakah membaca komik, koran, artikel di media online dan bacaan – bacaan di sosial media tergolong kedalam kategori penilaian minat baca? Jika iya, saya yakin Indonesia pasti akan mendapatkan rangking pertama jika hal itu menjadi salah satu kategori penilaiannya.
Karena kita tahu banyak masyarakat Indonesia yang gemar membaca komik. Satu komik bisa berpindah tangan lebih dari sepuluh orang, bahkan dalam sebuah surat kabar disebutkan koran di Indonesia bisa dibaca oleh 5 orang lebih secara bergantian. Dalam hal tersebut mungkin minat baca masyarakat kita tidak buruk – buruk amat seperti apa yang disebutkan oleh Unicef.
Namun rupanya ada perbedaan pandangan dalam menilai minat baca tersebut.
Buku, menjadi salah satu tolak ukur minat baca. Baik itu buku secara fisik maupun buku kembarannya yang sudah divirtualkan yaitu e-book.
Dan jika buku dijadikan salah satu tolak ukur penilaian minat baca, masyarakat kita menghadapi salah satu permasalahan, yaitu kepemilikan buku. Sangat terbatas jumlahnya keluarga ataupun pribadi yang mempunyai koleksi buku yang lumayan banyak, apalagi yang mempunyai perpustkaan keluarga atau pribadi.
Buku masih dianggap sebagai kepunyaan orang – orang intelek, anak sekolahan, mahasiswa dan akademisi lainnya. Buku masih dianggap hal yang sangat akademik, terlebih perpustakaan sebagai tempat buku – buku berada. Meskipun saya tidak yakin bahwa setiap mahasiswa atau akademisi lainnya mempunyai koleksi buku yang layak serta sering kali keluar masuk perpustkaan untuk membaca atau meinjam buku dan berlangganan jurnal.
Dalam hal ini pun seorang akademisi masih dalam posisi minat baca yang diragukan.
0 comments:
Terima kasih atas komentarnya