Banyak presepsi ketika aku memutuskan untuk berhenti. Sebagian menyatakan karena ada masalah pribadi, konflik dengan beberapa unsur pimpinan dan staf dan bahkan ada yang mengaitkannya dengan unsur politis. Namun biarlah presepsi itu berkembang dengan sendiri dipikirannya masing – masing. Karena sekeras apapun aku menjelaskan, tak akan semuanya mafhum dengan maksudku. Jawaban yang paling normatif yang saya keluarkan ketika mereka bertanya, untuk mengisi kekosongan atas jawabanku, aku sering menjawabnya “aku ingin lebih fokus dengan pendidikanku”, beberapa orang langsung menerima jawabanku, ketika mereka sadar bahwa data penelitianku hilang dikantor beserta berkas kerja digitalku. Aku tidak memanipulasi jawaban ketika mereka bertanya, karena jawabanku yang aku utarakan mewakili sepersekian alasan. Meskipun semuanya yang aku sampaikan bukan merupakan alasan utama, mungkin alasan pembantu, atau juga alasan sampingan.
Minggu awal aku berhenti, begitu terasa perbedaannya. Minggu pertama yang membuatku sedikit frustasi sebagai bentuk adapatasi dari awalnya yang setiap hari sering apel pagi tapi kini saya bisa saja duduk manis dengan menikmati kopi. Tapi bukan, bukan itu maksudku. Aku mengalami hari tanpa rutinitas yang selama halmpir 4 tahun aku jalani, dan diminggu pertama aku tanpa apel pagi, tanpa sepatu mengkilat sebelum berangkat dan sapaan selamat pagi dan selamat datang membuatku tersiksa, tapi itu hanya terjadi beberapa hari saja. Hari selanjutnya aku berusaha mengisi waktu ku dengan berbagai kegiatan yang bisa aku lakukan. Mungkin mereka akan bertanya jika mengetahui keadaanku, “lantas kenapa kau berhenti?”. Tapi aku telah memilih.
Pernah saya mengalami hari dimana aku tak punya sekedar untuk ongkos bensin sekalipun ketika harus mengisi kelas diskusi dengan mahasiswa, alhasil sosok ibu menjadi penolong dengan memberikan beberapa rupiah dan menyiapkanku bekal karena beliau mengerti kalau saya pasti tak mampu untuk membayar makan diluar. Pernah aku lalui hari ketika besok akan lebaran para haji, saya hanya selembar rupiah berwarna merah dengan gambar sultan hasanudin gagah yang cukup untuk ongkos bensin ketika pulang saja. tapi ketika takbir di malam itu ber kumandangkan seseorang dengan tanpa diduga duga seorang mentor senior menjadi jalan menghilangkan gundah yang sebenarnya tak perlu dengan mengsisi dompetku.
Beberapa waktu awal memang sarat dengan keadaan yang kontras dari sebelumnya, keadaan yang awalnya sangat mewah bagiku dengan fasilitas yang bisa membuat tersenyum terpesona dengan seruput kopi dan hitam kilatnya sepatu. Kontras, mungkin itulah apabila kita masukan dalam perbandingan. Masa itu adalah masa – masa sulit, tapi perjuangan baru di mulai. Terkadang aku terasa egois karena mempertahankan idelalis. Tapi aku dan setiap orang pun harus punya prinsp dalam jalan hidup yang kini dilakoni. Dan ini adalah jalan yang aku ambil, prinsip yang aku genggam, dan idelisme yang aku pertahankan. Memang sulit dan perjalanan tak selalu mudah dan rintangan pasti ada. Tapi haruslah selalu yakin, aku pasti sampai waktunya. Ku pinjam kata – kata sebuah lirik tembang pemimpin, “ telah kupilih jalanku sendiri, dalam prinsip kehidupanku, meski takkan selalu indah, aku yakin sampai disana” itu dengan rasa sepenuhnya cukup mewakili apa yang aku alami.
Chepanas, 29 April 2016
*Sumber gambar batu "kuyakin sampai di sana" : Lieshadie's Blog - WordPress.com
0 comments:
Terima kasih atas komentarnya